“PERANANAN PERBANKAN DIAREA AFTA”
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang Masalah
AFTA (ASEAN Free Trade Area),
bagi negara-negara pesertanya,
sekarang adalah sebuah kenyataan
yang mau tidak mau harus dihadapi. Ini
karena sejak tanggal 1 Januari
2002, kesepakatan AFTA tersebut telah resmi
diberlakukan, khususnya di negara
ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam,
Filipina, Indonesia, Malaysia,
Singapura, dan Thailand (di Vietnam mulai
diberlakukan pada tahun 2006,
Laos dan Myanmar pada tahun 2008, dan
Kamboja pada tahun 2010).
Dengan diberlakukannya AFTA ini,
maka negara-negara anggota
harus menurunkan tarif impornya,
menjadi hanya tinggal 0%-5%, terhadap
barang-barang dari negara-negara
sesama anggota AFTA yang telah
dimasukkan ke dalam Daftar
Inklusif (Inclusive List) dan telah memenuhi
ketentuan yang disepakati
(tentang kandungan produk ASEAN) dalam
kesepakatan AFTA tersebut. Pada
akhirnya, diharapkan keseluruhan tarif ini
akan dihapuskan sama sekali
(menjadi 0%), pada tahun 2010 bagi negara
ASEAN-6 dan 2015 bagi negara
ASEAN-4, sehingga akan menciptakan
kawasan perdagangan regional Asia
Tenggara yang benar-benar bebas1. Hal
tersebut diperkuat dengan
penandatanganan kesepakatan cetak biru AEC
(ASEAN Economic Community)
2015 dan ASEAN Charter oleh para
pemimpin negara ASEAN pada KTT
ASEAN ke-13, 20 November 2007.
Bila kita berbicara mengenai
kawasan perdagangan ASEAN atau yang
lebih dikenal sebagai AFTA,
sesungguhnya kita sedang membicarakan 2
aspek dalam masalah hubungan
internasional, khususnya dalam bidang
ekonomi-politik. Aspek yang
pertama adalah aspek regionalisme. Ini karena
obyek yang kita bahas adalah
ASEAN, yang merupakan organisasi regional
negara-negara di kawasan Asia
Tenggara. Sedangkan aspek yang kedua
adalah aspek liberalisasi
perdagangan. Ini karena apa yang kita bahas dalam
AFTA ini sesungguhnya adalah
bagian dari upaya penciptaan kawasan
perdagangan bebas, yang
memungkinkan masing-masing negara untuk
berdagang dengan negara lainnya
secara bebas, tanpa dikenai hambatan tarif
maupun non-tarif.
Secara normatif, upaya untuk
memunculkan AFTA ini lahir dari
pemikiran tentang bagaimana
meningkatkan hubungan (dan juga kerjasama),
khususnya dalam bidang ekonomi,
yang erat di antara negara-negara anggota
ASEAN. Hal ini dipandang sebagai
salah satu perwujudan dari tujuan
bersama ASEAN, sebagaimana yang
termuat di dalam Deklarasi Bangkok
pada pasal 2 ayat 5, yaitu “To
collaborate more effectively for the greatest
utilization of
their agriculture and industries, the expansions of their trade,
the improvement
of their transportation and communication facilities, and the
raising of the
living standart of their peoples”.
Selain sebagai bagian dari kerja
sama ASEAN, lahirnya AFTA juga
harus disadari merupakan salah
satu dampak dari munculnya tren liberalisasi
ekonomi (termasuk perdagangan)
yang melanda dunia. Perkembangan tren
liberalisasi ini terutama
disponsori oleh kelompok-kelompok yang secara
tradisional memang menganut paham
kapitalisme liberalisme (Amerika,
Jepang, dan negara-negara Eropa
Barat). Dalam pandangan kelompok ini,
efisiensi dan efektifitas ekonomi
hanya dapat dicapai apabila aktifitas
ekonomi diserahkan sepenuhnya
kepada mekanisme pasar. Aktivitas
perdagangan antar negara
dilaksanakan berdasarkan konsep keunggulan
komparatif (comparative
advantage)3, yang
memungkinkan setiap negara
untuk terlibat meskipun tidak
memiliki keunggulan mutlak (absolute
advantage) dalam bidang
apa pun. Pemerintah dalam hal ini hanya bertugas
untuk mengawasi apakah mekanisme
pasar tersebut berjalan dengan baik dan
tidak terjadi pelanggaran atas
aturan yang ada.
Paham kapitalisme-liberal ini
memperoleh momentum yang tepat
untuk berkembang ke seluruh dunia
ketika perang dingin berakhir.
Berakhirnya perang dingin telah
membawa berbagai perubahan dalam arah
ekonomi politik dunia. Dua
perubahan yang paling penting tersebut adalah,
(1) fokus perhatian negara-negara
di dunia beralih dari masalah politik (pada
masa perang dingin) menjadi pada
masalah ekonomi, yang didasari oleh
keinginan untuk meningkatkan
kemakmuran masing-masing negara, dan (2)
penyebaran paham kapitalisme dan
liberalisme ekonomi oleh negara-negara
pemenang perang dingin (Amerika
dan sekutu-sekutunya) menjadi tidak
terbendung, karena saat ini
mereka tidak lagi memiliki pesaing. Maka paham
kapitalisme dan liberalisme
ekonomi tersebut, termasuk dalam bidang
perdagangan, kemudian menyebar ke
seluruh dunia, baik yang diwujudkan
dalam bentuk kesepakatan
bilateral, multilateral (misalnya WTO), maupun
regional (misalnya AFTA).
Berangkat dari kenyataan
tersebut, maka sesungguhnya arus upaya
liberalisasi perdagangan yang
muncul dewasa ini (yang salah satu bentuknya
adalah lahirnya berbagai
kesepakatan perdagangan bebas) adalah suatu
hegemonic power yang mau tidak
mau harus diikuti oleh setiap negara di
dunia ini jika dia tidak ingin
dikucilkan dari pergaulan ekonomi politik
internasional. Dari kenyataan
tersebut juga, maka Indonesia mau tidak mau
dituntut untuk mampu mengambil
kebijakan dari strategi perdagangan yang
tepat, agar dapat menghadapi
pemberlakuan AFTA tersebut sebaik mungkin
dan dapat memperoleh kemanfaatan
yang sebesar-besarnya dari kesepakatan
tersebut. Dalam hal ini,
kebijakan dan strategi yang diambil tersebut harus
dapat menjadi jembatan, bahwa di
satu sisi pemberlakuan AFTA ini dan
keikutsertaan Indonesia di
dalamnya adalah sesuatu kenyataan yang harus
dipatuhi, namun di sisi lain
Indonesia harus mampu mengambil kesempatan
dari pemberlakuan AFTA ini guna
memperoleh kemanfaatan yang sebesarbesarnya
bagi kepentingan nasional.
1.2. Rumusan
Masalah
Berangkat dari penjelasan di
atas, tentang pada tataran mana
penelitian ini akan dilakukan,
maka rumusan permasalahan pokok yang
diajukan dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana kebijakan perdagangan
luar negeri
Indonesia dan implementasinya setelah ditandatanganinya
kesepakatan AFTA
dan Implementasi.”
1.3. Tinjauan
Pustaka
Tulisan-tulisan maupun
penelitian-penelitian yang membahas
mengenai AFTA ini jumlahnya
sangat banyak. Ini mengingat bahwa
perjalanan AFTA tersebut (mulai dari
lahirnya pemikiran untuk membentuk
kesepakatan AFTA tersebut sampai
keberadaanya saat ini) telah lebih dari 15
tahun. Selama itu muncul berbagai
pemikiran dan hasil penelitian dari para
ahli dan peneliti, baik yang
khusus berbicara mengenai AFTA saja, maupun
yang dikaitkan dengan pengaruhnya
terhadap Indonesia. Berikut akan dibahas
beberapa tulisan yang dirasa
memiliki arti penting bagi penelitian ini,
khususnya dalam menjelaskan
posisi yang ingin diambil penulis dalam
penelitian ini.
Tulisan pertama yang mungkin
penting untuk dibahas dalam bagian
ini adalah yang berkaitan dengan critical
assesment terhadap AFTA. Apa
yang dikemukakan oleh Sherry
Stephenson mungkin dapat mewakili
pemikiran kelompok yang bersikap
pesimis terhadap keberadaan AFTA ini.
Dalam tulisannya Stephenson
menyatakan bahwa dengan keberhasilan
kesepakatan perdagangan di bawah
GATT (General Agreement on Trade and
Tariff) dan WTO (World
Trade Organization) serta prospek ke depannya,
maka kesepakatan perdagangan
regional, baik yang keanggotaannya bersifat
tertutup (AFTA) maupun yang
bersifat terbuka (APEC) akan semakin tidak
menarik. Jika pun diteruskan, itu
lebih disebabkan oleh alasan strategis untuk
kebijakan luar negeri daripada
oleh alasan ekonomi4. Bila kita
mencermati,
sesungguhnya pendapat ini muncul
dari pandangan yang menganggap bahwa
upaya mencapai efesiensi dan
maksimisasi ekonomi melalui liberalisasi
perdagangan tersebut tidak akan
bisa tercapai bila masih ada sekat-sekat
regional, karenanya liberalisasi
yang harus dikembangkan bukanlah
liberalisasi yang bersifat
regional, melainkan liberalisasi global, yang
melibatkan seluruh negara yang
ada di dunia ini.
Sebaliknya, kelompok yang optimis
tidak memandang AFTA seekstrim
itu. Mereka memahami bahwa
bagaimanapun tujuan AFTA tersebut
adalah untuk mengembangkan
perekonomian negara-negara yang ada di
kawasan ini. namun demikian
mereka tetap mengkritik berbagai kelemahan
yang ada dalam pelaksanaannya,
yang dipandang justru akan menghambat
efektifitas implementasi AFTA itu
sendiri. Mari Elka Pangestu
menyebutkan paling tidak ada 3
kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan
AFTA saat ini5, yaitu masa
transisi dari penandatanganan kesepakatan AFTA
(Januari 1992) sampai berlaku
efektifnya kesepakatan tersebut (1 Januari
2002) dinilai terlalu lama,
sehingga menyebabkan hilangnya banyak
kesempatan yang bisa diperoleh
bila kesepakatan itu diberlakukan lebih
cepat. Kenyataannya, masyarakat
Eropa yang memulai kesepakatan Uni
Eropanya pada waktu yang hampir
bersamaan dengan lahirnya AFTA, saat
ini malah telah berhasil membuat
mata uang bersama Eropa. Sebaliknya
ASEAN, baru pada tahun 2002 ini
mulai melaksanakan liberalisasi
perdagangan yang sebenarnya telah
disepakati sejak lama, kemudian AFTA
dinilai terlalu memfokuskan diri
pada upaya penghapusan hambatan tarif dan
melupakan hambatan non tarif.
Padahal, kelancaran perdagangan menuju
liberalisasi yang sesungguhnya
juga sangat dipengaruhi oleh berkurangnya
hambatan non tarif, selanjutnya
kurangnya keberadaan pusat informasi yang
diperlukan baik untuk
menyampaikan informasi kepada pihak swasta maupun
menerima masukan dari mereka
berkaitan dengan pelaksanaan AFTA ini. Hal
ini penting karena pemain utama
dalam kegiatan ekonomi melalui skema
AFTA ini sesungguhnya adalah para
pelaku ekonomi sektor swasta6.
Atas kelemahan-kelemahan itu ia
menyerukan kepada negara-negara
anggota ASEAN, bahwa jika ingin
AFTA tetap relevan dengan tren ekonomi
saat ini maka negara-negara
tersebut perlu bergerak ke depan (tidak terjebak
pada perselisihan yang tidak
substantif) dan bereaksi cepat terhadap
perubahan dunia. Hal ini berarti
mereka harus mendorong maksimalisasi
efektifitas kesepakatan
pengurangan hambatan tarif dan non tarif yang telah
5 Mari E. Pangestu, ASEAN Free
Trade Area (AFTA): An Indonesian Perspective, hal.45
6 Ibid, hal.49
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
disepakati tersebut, dan
bertindak progresif dalam menanggapi isu-isu
ekonomi terkini yang tentunya
akan menarik minat sektor swasta.
Pada sisi lain R. Hendra
Halwani dalam bukunya yang berjudul
Ekonomi
Internasional Dan Ekonomi Global menyoroti negara-negara
ASEAN agar tidak terlalu
berlebihan dalam memberikan insentif kepada
calon investor7. Dalam jangka
pendek pemberian insentif tersebut memang
berguna untuk menarik masuknya
investasi. Namun dalam jangka panjang,
pemberian insentif yang
berlebihan itu justru akan menimbulkan persaingan
yang tidak sehat di antara
negara-negara ASEAN, yang pada akhirnya justru
akan merugikan ASEAN sendiri
secara keseluruhan.
Selain berbicara tentang kritik
terhadap AFTA, para ahli juga menulis
tentang prediksi dampak, manfaat
dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi
AFTA, serta menyampaikan
saran-saran tentang tindakan atau strategi apa
yang perlu dilakukan oleh
Indonesia untuk dapat memaksimalkan
kemanfaatan yang dapat diambil
dari pemberlakuan AFTA tersebut.
Rifana Erni dalam tulisannya
menyatakan bahwa pemberlakuan
AFTA ini tentunya akan membawa
dampak bagi pelaku ekonomi di setiap
negara anggota. Dampak itu
bersifat negatif bagi produsen (pelaku ekonomi)
yang tidak (belum) efisien, yang
selama ini selalu berlindung di balik proteksi
domestik namun bersifat positif
bagi produsen (pelaku ekonomi) yang sudah
efisien, karena dengan
pemberlakuan AFTA tersebut pasar yang terbuka
menjadi lebih lebar8. Persoalannya
bagi setiap negara kemudian adalah
bagaimana menjadikan semua pelaku
ekonomi di dalam negeri menjadi
efisien dan siap untuk menghadapi
liberalisasi perdagangan tersebut, dan
bagaimana agar dapat memperoleh
surplus dampak positif yang sebesarbesarnya
dari kesepakatan liberalisasi
perdagangan yang mereka ikuti
tersebut. Dengan jumlah penduduk
yang mencapai 500-600 juta jiwa,
perekonomian ASEAN memiliki
potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan lebih besar lagi,
dimana masing-masing negara anggota
memiliki kesempatan untuk
memperoleh bagian peningkatan kesejahteraan
dari upaya pengembangan ekonomi
ASEAN tersebut.
7 R. Hendra Halwani, Ekonomi
Internasional dan Globalisasi Ekonomi, hal. 291-221
8 Rifana Erni, Strategi
Menyongsong Era Perdagangan Bebas ASEAN Tahun 2003,hal.15
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
Bagi Indonesia sendiri, selain
memberikan peluang peningkatan
ekonomi AFTA ini juga merupakan
sarana pembelajaran dalam menghadapi
kesepakatan liberalisasi
perdagangan yang lebih besar lagi, yaitu liberalisasi
perdagangan di bawah bendera APEC
dan liberalisasi perdagangan di bawah
bendera WTO, yang lawan-lawannya
tentu jauh lebih unggul. Kenyataannya,
dalam AFTA ini posisi Indonesia
memang tidak terlalu jelek. Meskipun
belum bisa menyamai Singapura dan
Malaysia, tetapi posisi Indonesia masih
cukup sejajar dengan Thailand,
Filipina dan Vietnam, serta jelas lebih baik
daripada Laos, Kamboja dan
Myanmar. Dengan posisi seperti itu, peluang
Indonesia untuk bisa memanfaatkan
AFTA ini sebenarnya sangat terbuka
lebar. Namun tentu saja peluang
untuk memperoleh manfaat tersebut
bukanlah sesuatu yang mudah,
sebab ada banyak tantangan yang harus
dihadapi Indonesia untuk bisa
memperoleh manfaat tersebut.
Hikmahanto
Juwana mencatat
ada beberapa tantangan yang harus
diatasi Indonesia dalam
menghadapi AFTA ini, yang jika berhasil akan
bermanfaat untuk kepentingan
nasional9. Yaitu
Indonesia harus mampu
memposisikan para pelaku usaha
dari negara-negara ASEAN lainnya sejajar
dengan pelaku usaha lokal,
kemudian Indonesia harus mampu berpikir dan
bertindak tidak lagi dalam
konteks dan skala lokal (domestik) namun sudah
dalam konteks dan skala regional
ASEAN, disamping itu Indonesia harus
mampu mendorong pelaku usaha
domestik untuk lebih kompetitif, agar
mereka tidak hanya menjadi
penonton tetapi juga ikut bermain dan
mendapatkan kemanfaatan dari
kesepakatan AFTA ini, selanjutnya Indonesia
harus mampu menekan praktek
ekonomi biaya tinggi dan tidak sehat lainnya,
seperti praktek monopoli,
korupsi, pungutan liar dan sebagainya, yang selama
ini memang menghambat kemajuan
ekonomi Indonesia, dan harus dapat
mentransformasikan apa yang telah
disepakati dalam AFTA tersebut ke
dalam produk/ kebijakan hukum
nasional. Tantangan-tantangan ini sendiri
sesungguhnya tidak hanya harus
diatasi oleh pemerintah saja, namun juga
oleh pihak swasta, yang
sebenarnya merupakan aktor utama dalam
pemanfaatan pemberlakuan
kesepakatan AFTA ini.
9 Hikmahanto Juwana, AFTA Dalam
Konteks Hukum Ekonomi Internasional, hal.10-11
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
Hal lain yang juga banyak dibahas
oleh para ahli dan peneliti terkait
dengan isu AFTA ini adalah
bagaimana upaya pentransformasian hal-hal
yang telah disepakati di dalam
AFTA tersebut ke dalam instrumen hukum
domestik masing-masing negara
anggota. Hal ini berangkat dari kenyataan
bahwa meskipun kesepakatan AFTA
ini adalah kesepakatan politik dan
ekonomi, namun di dalamnya
terdapat hal-hal yang bersifat teknis (misalnya
ketentuan tentang tarif, hambatan
non tarif dan sebagainya), yang
memerlukan instrumen hukum,
misalnya peraturan perundang-undangan,
untuk mengimplementasikannya.
Oleh karena itu, setiap negara ASEAN
perlu dan wajib membuat instrumen
hukum domestik yang dibutuhkan agar
dapat menjalankan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kesepakatan
AFTA tersebut secara efektif.
Berkaitan dengan upaya
pentransformasian isi kesepakatan AFTA
tersebut ke dalam instrumen hukum
domestik masing-masing negara anggota,
D. Gandaprawira mengingatkan
tentang perlunya dilakukan harmonisasi
hukum di antara negara-negara
ASEAN. Kenyataannya, masing-masing
negara ASEAN memang menggunakan
sistem hukum yang berbeda-beda.
Indonesia dan Thailand
menggunakan sistem kontinental, Brunei, Malaysia,
dan Singapura menggunakan sistem
hukum anglosaxon, sedangkan Filipina
menggunakan sistem hukum
spanih-american10. Dengan sistem
yang
berbeda-beda ini rasanya upaya
penyatuan hukum yang ada di kawasan ini
adalah sesuatu yang sulit. Maka
upaya yang mungkin dilakukan adalah proses
harmonisasi hukum, dimana
masing-masing negara ASEAN aktif melakukan
pertukaran informasi tentang
aturan hukum yang dibuatnya kepada negaranegara
ASEAN lainnya, sehingga meskipun
sistem hukum yang dimiliki
masing-masing negara berbeda beda
namun menggunakan ‘bahasa’ yang
sama.
Taryana
Soenandar menyebutkan
bahwa proses harmonisasi hukum
ini menjadi penting sejalan
dengan meningkatnya interaksi dan transaksi antar
pelaku ekonomi negara-negara
ASEAN, dimana pelaku ekonomi bertindak
berdasarkan hukum (dan sistem
hukum) yang dimiliki negaranya masing-
10 D. Gandaprawira, Some Legal
Implementation of AFTA, hal. 41
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
masing, yang berbeda dengan hukum
(dan sistem hukum) yang dimiliki oleh
negara pelaku ekonomi lainnya11. Tanpa adanya
upaya harmonisasi hukum,
maka akan sangat mungkin terjadi
kesalahpahaman dan perselisihan di antara
pelaku ekonomi tersebut, yang
pada akhirnya akan menghambat aktifitas
ekonomi yang berlangsung di
antara negara-negara ASEAN tersebut.
Soenandar juga mencatat ada
beberapa ketentuan hukum yang perlu segera
diharmonisasikan guna
memperlancar pengimplementasian kesepakatan
AFTA tersebut. Hukum-hukum
tersebut adalah hukum investasi, hukum
perlindungan konsumen, hukum
tanggung jawab produk, hukum
perlindungan terhadap hak atas
kekayaan intelektual, hukum kontrak, hukum
jual-beli internasional, hukum
lingkungan, serta hukum acara12.
Jayant Menon lebih jauh
mengatakan bahwa proses harmonisasi
yang diperlukan tersebut bukan
hanya dalam hal ketentuan hukum, tapi juga
dalam hal standar yang digunakan,
tes dan sertifikasi yang diwajibkan atas
produk, prosedur kepabean,
kebijakan investasi asing, konsultasi makro
ekonomi, serta aturan dalam hal
kompetisi yang adil13. Tanpa itu
semua,
upaya untuk meningkatkan volume
perdagangan antar negara-negara ASEAN
melalui penghapusan hambatan
tarif dan non tarif akan menjadi sia-sia, sebab
para pelaku ekonomi masih tetap
akan bingung dalam menghadapi sistem
yang berbeda-beda yang
diberlakukan oleh masing-masing negara ASEAN.
Pada akhirnya, Jamil Maidan
Flores dalam bukunya yang berjudul
ASEAN Economic
Cooperation: Helping The Breadwinners of Southeast
Asia menyebutkan
bahwa kerjasama ekonomi yang dicanangkan ASEAN
sesungguhnya mencakup
bidang-bidang yang lebih luas lagi, seperti bidang
jasa, pengembangan industri,
keuangan dan perbankan, investasi, pertanian
dan kehutanan, energi dan
sumberdaya mineral, serta transportasi dan
komunikasi14. Maka keberhasilan
kerjasama dalam bidang-bidang
perdagangan ini, khususnya
kesepakatan AFTA ini, sesungguhnya akan
11 Taryana Soenandar, Harmonisasi
Hukum di Lingkungan Negara-negara ASEAN Dalam Rangka
Mendukung
Berlakunya Kawasan Perdagangan Bebas,
12 Ibid
13 Jayant Menon, The Evolving
ASEAN Free Trade Area: Widening And Deepening,
14 Jamil Maidan Flores, ASEAN
Economic Cooperation: Helping The Breadwinners of Southeast
Asia, hal.39-60
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
menjadi indikator bagi
kemungkinan keberhasilan kerjasama dalam bidangbidang
lainnya tersebut. Bila ini
berhasil maka yang lain pun diperkirakan
akan berhasil, dan sebaliknya
bila ini gagal maka yang lain pun diperkirakan
akan gagal pula.
Berangkat dari telaah terhadap
tulisan-tulisan tentang AFTA di atas,
maka penulis kemudian menentukan
arah yang ingin dituju dalam penelitian
ini. Berbeda dengan
tulisan-tulisan tersebut, yang umumnya berbicara tentang
critical
assesment terhadap
AFTA, prediksi mengenai dampak pemberlakuan
AFTA terhadap Indonesia, serta
saran tentang bagaimana sebaiknya proses
pengimplementasian AFTA tersebut
dilakukan, penelitian ini ingin melihat
tentang apa dan bagaimana
kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil
Indonesia dalam menghadapi
pemberlakuan AFTA tersebut. Dari situ kita
akan bisa melihat apakah
kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil
tersebut telah cukup dan siap
untuk menghadapi pemberlakuan AFTA ini.
1.4. Kerangka
Teori
1.4.1.
Liberalisasi Perdagangan di Tingkat Regional
Banyak permasalahan yang muncul
sebagai akibat dari
pemberlakuan kesepakatan
liberalisasi perdagangan ini, khususnya
yang dihadapi oleh negara-negara
berkembang. Masalah-masalah
tersebut kenyataannya sering kali
justru bertolak belakang dengan apa
yang dicita-citakan dari
pemberlakuan liberalisasi perdagangan ini,
yaitu ingin meningkatkan
kemakmuran dunia secara keseluruhan.
Kenyataannya, hal ini menurut
Gilpin tidak terlepas dari regionalisme
politik di abad 21 yang akan
diikuti oleh regionalisme arus investasi
(FDI), produksi dan kegiatan
ekonomi yang lain.
Berkaitan dengan kuatnya hegemoni
negara-negara maju atas
negara-negara berkembang dalam
rezim perdagangan bebas yang ada.
Meskipun ide awal lahirnya upaya
liberalisasi perdagangan adalah
untuk menciptakan suatu rezim
perdagangan yang adil, namun
kenyataan yang ada justru
sebaliknya. Dengan kekuatan yang
dimilikinya, negara-negara maju
sering kali bersikap mau menang
sendiri, misalnya dengan memaksa
negara-negara berkembang untuk
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
mau menerima isi
kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan
yang hanya menguntungkan
negara-negara maju saja. Hal ini dapat
dilihat dari desakan
negara-negara maju agar diberlakukannya
liberalisasi perdagangan untuk produk-produk
manufaktur. Selain itu
negara-negara maju juga sering
kali menetapkan berbagai persyaratan
teknis yang harus dipenuhi oleh
suatu negara dalam aktifitas
perdagangan internasional.
1.4.2 AFTA Dan
Kebijakan Indonesia
Kesepakatan liberalisasi perdagangan
ASEAN (AFTA),
sesungguhnya lahir dari
kegundahan para pemimpin negara-negara
ASEAN terhadap kondisi
perdagangan intra-ASEAN yang selama ini
menunjukkan hasil yang kurang
baik. Meskipun kerjasama ASEAN
(mulai dari deklarasi Bangkok
sampai dengan penandatangan
kesepakatan pembentukan AFTA)
telah berlangsung 25 tahun,
nyatanya nilai perdagangan
intra-ASEAN masih belum menunjukkan
nilai yang signifikan, dengan
pertumbuhan yang mengalami stagnasi.
Secara luas, pembentukan AFTA
bertujuan untuk
meningkatkan daya saing ekonomi
negara-negara ASEAN dengan
menjadikannya sebagai basis
produksi pasar dunia. Selain itu
pembentukan AFTA ini juga
bertujuan untuk mengembangkan
perdagangan intra-ASEAN serta
meningkatkan skala ekonomi dan
spesialisasi industri-industri
yang ada di negara-negara ASEAN.
Karenanya sasaran yang diharapkan
dari pembentukan AFTA ini
bukan hanya pengembangan dalam
bidang perdagangan, namun juga
pengembangan dalam bidang
investasi. Dengan keberadaan AFTA ini,
investor diharapkan menjadi
semakin tertarik untuk menanamkan
modalnya di kawasan ASEAN. Sebab
ketika mereka menanamkan
modalnya dan berproduksi di salah
satu negara ASEAN, mereka akan
dapat juga melayani keseluruhan
kawasan ASEAN dengan
memanfaatkan ketentuan AFTA
tersebut, dimana barang-barang
produksi ASEAN akan memperoleh
keistimewaan dalam hal
pengenaan tarif dan hambatan non
tarif. Untuk itu maka AFTA ini
dikembangkan agar dapat menjadi
kesepakatan regional yang terbuka
(open regionalism), yang
di satu sisi berupaya untuk
mengintegrasikan ekonomi kawasan,
namun di sisi lain juga
menyambut baik hubungan ekonomi
dengan negara-negara dari luar
kawasan. Meski dimaksudkan untuk
mengembangkan perekonomian
ASEAN, khususnya untuk
meningkatkan nilai perdagangan intra-
ASEAN, kenyataannya tidak semua
pihak satu suara mengenai
keberadaan AFTA ini. Di Indonesia
sendiri perbedaan pandangan
tersebut juga kerap terjadi
antara kelompok yang mendukung dengan
kelompok yang menentang
keberadaan AFTA ini. Bahkan kelompok
pengusaha yang tadinya diharapkan
akan dapat memperoleh manfaat
besar dari kesepakatan AFTA ini,
nyatanya tidak semua merasa
senang dengan keberadaan AFTA
ini.
Namun demikian, satu hal yang
harus disadari adalah bahwa
pemberlakuan AFTA mulai tahun
2002 dan keikut sertaan Indonesia
di dalamnya kini adalah satu
kenyataan yang tak dapat ditolak.
Sebagai konsekuensinya, seluruh
pelaku ekonomi di Indonesia
(khususnya pemerintah) diharuskan
untuk menciptakan aturan-aturan
perdagangan yang sejalan dengan
isi kesepakatan AFTA tersebut. Di
sisi lain, pemberlakuan AFTA ini
tentunya akan membawa dampak
bagi pelaku ekonomi nasional.
Dampak tersebut akan bersifat negatif
bagi pelaku ekonomi yang tidak
efisien sehingga tidak mampu
bersaing, namun akan bersifat
positif bagi pelaku ekonomi yang sudah
efisien sehingga mampu bersaing.
Maka pemikiran yang seharusnya
dikembangkan bukan lagi berbicara
tentang masalah penerimaan
ataupun penolakan terhadap AFTA,
melainkan bagaimana AFTA
tersebut dapat disikapi dengan
bijak. Dengan itu Indonesia kemudian
diharapkan mampu mengambil
kebijakan-kebijakan perdagangan
yang tepat agar dapat
memanfaatkan keberadaan AFTA ini sebaik
mungkin bagi kepentingan
nasional. Dalam konteks kebijakan secara luas, Sjamsumar Dam dan Riswandi
menyebutkan paling tidak ada 5 hal pokok yang harus
dilakukan Indonesia dalam
menghadapi AFTA ini, agar di satu sisi
dapat mendorong peningkatan
kegiatan perdagangan intra- ASEAN
sebagaimana yang dicita-citakan
dari pembentukan AFTA ini, namun
di sisi lain juga dapat
mengoptimalkan pemanfaatan AFTA bagi
pengembangan ekonomi nasional19. Lima hal pokok
tersebut adalah:
1. Memantapkan organisasi
pelaksana AFTA yang ada pada level
nasional.
2. Meningkatkan promosi dan
penetrasi pasar ke negara-negara
ASEAN lainnya.
3. Meningkatkan efisiensi dan
produktifitas pelaku ekonomi dalam
negeri.
4. Meningkatkan kualitas sumber
daya manusia nasional.
5. Dan melakukan upaya untuk
melindungi industri kecil nasional.
Pada level yang lebih
implementatif dalam hal kebijakan
perdagangan, Gandaprawira
menyebutkan bahwa pemerintah harus
melakukan upaya deregulasi
kebijakan di bidang perdagangan20.
Deregulasi tersebut misalnya
dengan menyederhanakan hambatan non
tarif yang ada, memasukkan
beberapa ketentuan kuota yang kompleks
ke dalam sistem tarif yang sederhana,
serta mengurangi berbagai
hambatan perizinan di bidang
investasi. Ini penting mengingat selama
ini kebijakan perdagangan
Indonesia terkenal sarat dengan hambatan
birokratis dan berbelit-belit,
sehingga mempersulit kegiatan
perdagangan itu sendiri. Selain
itu, deregulasi kebijakan perdagangan
yang diambil tersebut hendaknya
tidak hanya dalam bidang impor
(yang memang merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh setiap
negara anggota AFTA), tapi juga
dalam bidang ekspor. Hal ini untuk
mempermudah para pelaku ekonomi
nasional guna memperluas
kegiatan ekonominya melalui
pengembangan kegiatan ekspor. Karena
sesungguhnya kesempatan untuk
mengembangkan kegiatan ekspor
inilah yang diharapkan oleh
setiap negara ketika ia memutuskan untuk
mengikuti sebuah kesepakatan
liberalisasi perdagangan.
Upaya deregulasi kebijakan dan
birokrasi, serta pengambilan
strategi perdagangan yang tepat
ini terutama diharapkan dapat
dimotori oleh Departemen
Perdagangan (khususnya melalui
Direktorat Jenderal Kerjasama
Perdagangan Internasional, Direktorat
Perdagangan Luar Negeri, dan
Badan pengembangan ekspor
Nasional) selaku regulator utama
kegiatan perdagangan luar negeri di
Indonesia, dan oleh Departemen
Keuangan (melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai) selaku
ujung tombak dalam proses
pengawasan terhadap kegiatan
ekspor dan impor di lapangan.
Tentu saja bagaimana pun pada
akhirnya akan tetap ada
pelaku-pelaku ekonomi nasional
yang mengalami kerugian dari
pemberlakuan AFTA ini dan
keikutsertaan Indonesia di dalamnya,
sebagaimana pula akan ada
pelaku-pelaku ekonomi nasional yang
mengalami kerugian bila AFTA ini
tidak diberlakukan atau Indonesia
tidak ikut di dalamnya. Maka
persoalannya sekarang adalah
bagaimana menjadikan kemanfaatan
yang diperoleh Indonesia dari
pemberlakuan AFTA ini dapat jauh
lebih besar dari ongkos yang
harus dikeluarkan, serta
bagaimana agar kerugian yang harus dialami
oleh pelaku-pelaku ekonomi
nasional yang mendapat kerugian
tersebut dapat menjadi seminimal
mungkin.
1.5. Asumsi
Berangkat dari uraian-uraian yang
ada pada bagian sebelumnya, maka
asumsi yang dikemukakan dalam
tesis ini adalah pemerintah Indonesia
memegang teguh komitmen yang
telah diambil dalam pelaksanaan
kesepakatan AFTA.
1.6. Metodologi
Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian
kualitatif ini dilakukan dengan
cara studi pustaka (library
research), dimana peneliti mengumpulkan datadata
yang diperlukan dari
sumber-sumber seperti buku-buku, jurnal, dokumen
resmi, koran, majalah, dan
literatur-literatur lainnya, serta “browsing” ke
dalam website yang relevan dengan
topik penelitian ini. Data-data tersebut
khususnya yang berkaitan dengan
sejarah perkembangan kerjasama ekonomi
(khususnya perdagangan) di
kawasan ASEAN, data mengenai
mekanisme/aturan main pelaksanaan
kesepakatan AFTA, serta data mengenai
kebijakan perdagangan (khususnya
perdagangan luar negeri) dan strategi
pengembangan ekspor yang diambil
oleh Indonesia dalam menghadapi
pemberlakuan kesepakatan AFTA
tersebut. Selain itu, untuk melengkapi dan
mengembangkan data-data yang
telah diperoleh melalui studi pustaka
tersebut, maka akan dilakukan
pula wawancara terhadap pihak-pihak yang
dinilai memiliki informasi dan
pengetahuan yang relevan dengan topik
penelitian ini.
1.7. Tujuan
Penelitian
Dari uraian sebelumnya tentang
latar belakang masalah yang ingin
diteliti dalam penelitian ini,
maka kita dapat melihat bahwa paling tidak ada 3
alasan yang menjadikan penelitian
ini memiliki arti penting, yaitu:
1. Berangkat dari kondisi dunia
yang ada saat ini, maka upaya liberalisasi
ekonomi, khususnya di bidang
perdagangan, adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindari oleh setiap
negara yang ingin terlibat dalam aktifitas
perekonomian internasional.
Liberalisasi itu sendiri bisa dalam bentuk
kesepakatan bilateral,
multilateral, maupun regional (seperti yang
terwujud dalam AFTA ini).
2. Secara ideal, sejak awal
dimulainya AFTA sampai sekarang dan untuk
waktu yang akan datang pembahasan
mengenai AFTA bukan lagi hanya
sebuah wacana, melainkan sudah
merupakan ketentuan nyata yang harus
dipatuhi oleh setiap anggotanya.
Strategi kebijakan..., Haka Avesina
Asykur, FISIP UI, 2010.
3. Berlakunya AFTA ini membawa
konsekuensi kepada Indonesia (sebagai
salah satu anggotanya) untuk
mengambil kebijakan dan strategi
perdagangan yang tepat, yang
mempunyai tujuan untuk :
(a) Menyesuaikan diri dengan
apa-apa yang telah diwajibkan dalam
kesepakatan AFTA tersebut, dan
(b) Mengambil kesempatan dari
pemberlakuan AFTA tersebut untuk
memperoleh kemanfaatan yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan
nasional. Kebijakan dan strategi
inilah yang nantinya akan
mengarahkan kegiatan perdagangan
Indonesia, khususnya di
kawasan ASEAN.
Seperti yang telah diuraikan,
maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih
luas mengenai kebijakan perdagangan luar
negeri Indonesia dan AFTA serta
dapat memberikan berbagai macam
pandangan bagi pihak-pihak
terkait yang ingin memanfaatkan penelitian ini
sebagai sebuah wacana tambahan
diantara wacana-wacana lain yang telah
berkembang untuk mempertimbangkan
kebijakan dan strategi Indonesia
dalam menghadapi AFTA ataupun
sebagai titik tolak untuk penelitian lebih
lanjut mengenai hal yang
berkaitan dengan tujuan untuk menyempurnakan
penelitian-penelitian yang sudah
ada, mengingat bahwa tulisan-tulisan
mengenai Indonesia dan AFTA sudah
sangat banyak sekali jumlahnya.
1.8. Sistematika
Penulisan
Bab I adalah bagian pendahuluan.
Bab ini menjelaskan tentang latar
belakang masalah, rumusan
masalah, literatur survei, kerangka teori,
hipotesis, metodologi penelitian,
tujuan penelitian serta pembabakan.
Bab II akan berisi penjelasan
tentang isi/ ketentuan yang terdapat
dalam kesepakatan AFTA, khususnya
yang terkait dengan pelaksanaan
skema CEPT sebagai mekanisme
utama bagi upaya penghapusan hambatan
tarif, ketentuan tentang upaya
penghapusan hambatan non tarif, dan
ketentuan tentang kandungan ASEAN
(ASEAN content). Selain itu juga
akan ditinjau bagaimana kebijakan
umum yang diambil Indonesia dalam
mengimplementasikan
ketentuan-ketentuan tersebut.
Bab III akan menjelaskan tentang
gambaran kondisi perdagangan luar
negeri ASEAN, perdagangan
intra-ASEAN, perdagangan luar negeri
Indonesia, dan perdagangan
Indonesia dengan kawasan ASEAN. Dari
penjelasan tersebut kita akan
dapat apa alasan yang mendasari pendirian
AFTA ini, bagaimana perkembangan perdagangan
intra-ASEAN setelah
diberlakukannya AFTA, dan
bagaimana perkembangan perdagangan
Indonesia ke kawasan ASEAN
setelah diberlakukan AFTA.
Bab IV akan menjelaskan tentang
langkah-langkah fasilitatif dan
proaktif yang telah dilakukan
oleh pemerintah dalam mengembangkan
kegiatan perdagangan Indonesia
dengan kawasan ASEAN, khususnya dalam
rangka mengembangkan ekspor
nasional.
Bab V berisi kesimpulan dan
saran, yaitu rangkuman atas
pembahasan pada bab-bab
sebelumnya, sekaligus sebagai penegasan
jawaban atas permasalahan
penelitian yang diajukan.
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI,
2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar