Jumat, 20 Maret 2015

01. PERANANAN PERBANKAN DI AREA AFTA

SITI NUR RINA AHMAWATI
3DB10/37112074


“PERANANAN PERBANKAN DIAREA AFTA”

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah
AFTA (ASEAN Free Trade Area), bagi negara-negara pesertanya,
sekarang adalah sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus dihadapi. Ini
karena sejak tanggal 1 Januari 2002, kesepakatan AFTA tersebut telah resmi
diberlakukan, khususnya di negara ASEAN-6, yaitu Brunei Darussalam,
Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand (di Vietnam mulai
diberlakukan pada tahun 2006, Laos dan Myanmar pada tahun 2008, dan
Kamboja pada tahun 2010).
Dengan diberlakukannya AFTA ini, maka negara-negara anggota
harus menurunkan tarif impornya, menjadi hanya tinggal 0%-5%, terhadap
barang-barang dari negara-negara sesama anggota AFTA yang telah
dimasukkan ke dalam Daftar Inklusif (Inclusive List) dan telah memenuhi
ketentuan yang disepakati (tentang kandungan produk ASEAN) dalam
kesepakatan AFTA tersebut. Pada akhirnya, diharapkan keseluruhan tarif ini
akan dihapuskan sama sekali (menjadi 0%), pada tahun 2010 bagi negara
ASEAN-6 dan 2015 bagi negara ASEAN-4, sehingga akan menciptakan
kawasan perdagangan regional Asia Tenggara yang benar-benar bebas1. Hal
tersebut diperkuat dengan penandatanganan kesepakatan cetak biru AEC
(ASEAN Economic Community) 2015 dan ASEAN Charter oleh para
pemimpin negara ASEAN pada KTT ASEAN ke-13, 20 November 2007.
Bila kita berbicara mengenai kawasan perdagangan ASEAN atau yang
lebih dikenal sebagai AFTA, sesungguhnya kita sedang membicarakan 2
aspek dalam masalah hubungan internasional, khususnya dalam bidang
ekonomi-politik. Aspek yang pertama adalah aspek regionalisme. Ini karena
obyek yang kita bahas adalah ASEAN, yang merupakan organisasi regional
negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sedangkan aspek yang kedua
adalah aspek liberalisasi perdagangan. Ini karena apa yang kita bahas dalam

AFTA ini sesungguhnya adalah bagian dari upaya penciptaan kawasan
perdagangan bebas, yang memungkinkan masing-masing negara untuk
berdagang dengan negara lainnya secara bebas, tanpa dikenai hambatan tarif
maupun non-tarif.
Secara normatif, upaya untuk memunculkan AFTA ini lahir dari
pemikiran tentang bagaimana meningkatkan hubungan (dan juga kerjasama),
khususnya dalam bidang ekonomi, yang erat di antara negara-negara anggota
ASEAN. Hal ini dipandang sebagai salah satu perwujudan dari tujuan
bersama ASEAN, sebagaimana yang termuat di dalam Deklarasi Bangkok
pada pasal 2 ayat 5, yaitu “To collaborate more effectively for the greatest
utilization of their agriculture and industries, the expansions of their trade,
the improvement of their transportation and communication facilities, and the
raising of the living standart of their peoples”.
Selain sebagai bagian dari kerja sama ASEAN, lahirnya AFTA juga
harus disadari merupakan salah satu dampak dari munculnya tren liberalisasi
ekonomi (termasuk perdagangan) yang melanda dunia. Perkembangan tren
liberalisasi ini terutama disponsori oleh kelompok-kelompok yang secara
tradisional memang menganut paham kapitalisme liberalisme (Amerika,
Jepang, dan negara-negara Eropa Barat). Dalam pandangan kelompok ini,
efisiensi dan efektifitas ekonomi hanya dapat dicapai apabila aktifitas
ekonomi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Aktivitas
perdagangan antar negara dilaksanakan berdasarkan konsep keunggulan
komparatif (comparative advantage)3, yang memungkinkan setiap negara
untuk terlibat meskipun tidak memiliki keunggulan mutlak (absolute
advantage) dalam bidang apa pun. Pemerintah dalam hal ini hanya bertugas
untuk mengawasi apakah mekanisme pasar tersebut berjalan dengan baik dan
tidak terjadi pelanggaran atas aturan yang ada.
Paham kapitalisme-liberal ini memperoleh momentum yang tepat
untuk berkembang ke seluruh dunia ketika perang dingin berakhir.

Berakhirnya perang dingin telah membawa berbagai perubahan dalam arah
ekonomi politik dunia. Dua perubahan yang paling penting tersebut adalah,
(1) fokus perhatian negara-negara di dunia beralih dari masalah politik (pada
masa perang dingin) menjadi pada masalah ekonomi, yang didasari oleh
keinginan untuk meningkatkan kemakmuran masing-masing negara, dan (2)
penyebaran paham kapitalisme dan liberalisme ekonomi oleh negara-negara
pemenang perang dingin (Amerika dan sekutu-sekutunya) menjadi tidak
terbendung, karena saat ini mereka tidak lagi memiliki pesaing. Maka paham
kapitalisme dan liberalisme ekonomi tersebut, termasuk dalam bidang
perdagangan, kemudian menyebar ke seluruh dunia, baik yang diwujudkan
dalam bentuk kesepakatan bilateral, multilateral (misalnya WTO), maupun
regional (misalnya AFTA).
Berangkat dari kenyataan tersebut, maka sesungguhnya arus upaya
liberalisasi perdagangan yang muncul dewasa ini (yang salah satu bentuknya
adalah lahirnya berbagai kesepakatan perdagangan bebas) adalah suatu
hegemonic power yang mau tidak mau harus diikuti oleh setiap negara di
dunia ini jika dia tidak ingin dikucilkan dari pergaulan ekonomi politik
internasional. Dari kenyataan tersebut juga, maka Indonesia mau tidak mau
dituntut untuk mampu mengambil kebijakan dari strategi perdagangan yang
tepat, agar dapat menghadapi pemberlakuan AFTA tersebut sebaik mungkin
dan dapat memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya dari kesepakatan
tersebut. Dalam hal ini, kebijakan dan strategi yang diambil tersebut harus
dapat menjadi jembatan, bahwa di satu sisi pemberlakuan AFTA ini dan
keikutsertaan Indonesia di dalamnya adalah sesuatu kenyataan yang harus
dipatuhi, namun di sisi lain Indonesia harus mampu mengambil kesempatan
dari pemberlakuan AFTA ini guna memperoleh kemanfaatan yang sebesarbesarnya
bagi kepentingan nasional.

1.2. Rumusan Masalah
Berangkat dari penjelasan di atas, tentang pada tataran mana
penelitian ini akan dilakukan, maka rumusan permasalahan pokok yang
diajukan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana kebijakan perdagangan

luar negeri Indonesia dan implementasinya setelah ditandatanganinya
kesepakatan AFTA dan Implementasi.”

1.3. Tinjauan Pustaka
Tulisan-tulisan maupun penelitian-penelitian yang membahas
mengenai AFTA ini jumlahnya sangat banyak. Ini mengingat bahwa
perjalanan AFTA tersebut (mulai dari lahirnya pemikiran untuk membentuk
kesepakatan AFTA tersebut sampai keberadaanya saat ini) telah lebih dari 15
tahun. Selama itu muncul berbagai pemikiran dan hasil penelitian dari para
ahli dan peneliti, baik yang khusus berbicara mengenai AFTA saja, maupun
yang dikaitkan dengan pengaruhnya terhadap Indonesia. Berikut akan dibahas
beberapa tulisan yang dirasa memiliki arti penting bagi penelitian ini,
khususnya dalam menjelaskan posisi yang ingin diambil penulis dalam
penelitian ini.
Tulisan pertama yang mungkin penting untuk dibahas dalam bagian
ini adalah yang berkaitan dengan critical assesment terhadap AFTA. Apa
yang dikemukakan oleh Sherry Stephenson mungkin dapat mewakili
pemikiran kelompok yang bersikap pesimis terhadap keberadaan AFTA ini.
Dalam tulisannya Stephenson menyatakan bahwa dengan keberhasilan
kesepakatan perdagangan di bawah GATT (General Agreement on Trade and
Tariff) dan WTO (World Trade Organization) serta prospek ke depannya,
maka kesepakatan perdagangan regional, baik yang keanggotaannya bersifat
tertutup (AFTA) maupun yang bersifat terbuka (APEC) akan semakin tidak
menarik. Jika pun diteruskan, itu lebih disebabkan oleh alasan strategis untuk
kebijakan luar negeri daripada oleh alasan ekonomi4. Bila kita mencermati,
sesungguhnya pendapat ini muncul dari pandangan yang menganggap bahwa
upaya mencapai efesiensi dan maksimisasi ekonomi melalui liberalisasi
perdagangan tersebut tidak akan bisa tercapai bila masih ada sekat-sekat
regional, karenanya liberalisasi yang harus dikembangkan bukanlah
liberalisasi yang bersifat regional, melainkan liberalisasi global, yang
melibatkan seluruh negara yang ada di dunia ini.

Sebaliknya, kelompok yang optimis tidak memandang AFTA seekstrim
itu. Mereka memahami bahwa bagaimanapun tujuan AFTA tersebut
adalah untuk mengembangkan perekonomian negara-negara yang ada di
kawasan ini. namun demikian mereka tetap mengkritik berbagai kelemahan
yang ada dalam pelaksanaannya, yang dipandang justru akan menghambat
efektifitas implementasi AFTA itu sendiri. Mari Elka Pangestu
menyebutkan paling tidak ada 3 kritik yang dialamatkan pada pelaksanaan
AFTA saat ini5, yaitu masa transisi dari penandatanganan kesepakatan AFTA
(Januari 1992) sampai berlaku efektifnya kesepakatan tersebut (1 Januari
2002) dinilai terlalu lama, sehingga menyebabkan hilangnya banyak
kesempatan yang bisa diperoleh bila kesepakatan itu diberlakukan lebih
cepat. Kenyataannya, masyarakat Eropa yang memulai kesepakatan Uni
Eropanya pada waktu yang hampir bersamaan dengan lahirnya AFTA, saat
ini malah telah berhasil membuat mata uang bersama Eropa. Sebaliknya
ASEAN, baru pada tahun 2002 ini mulai melaksanakan liberalisasi
perdagangan yang sebenarnya telah disepakati sejak lama, kemudian AFTA
dinilai terlalu memfokuskan diri pada upaya penghapusan hambatan tarif dan
melupakan hambatan non tarif. Padahal, kelancaran perdagangan menuju
liberalisasi yang sesungguhnya juga sangat dipengaruhi oleh berkurangnya
hambatan non tarif, selanjutnya kurangnya keberadaan pusat informasi yang
diperlukan baik untuk menyampaikan informasi kepada pihak swasta maupun
menerima masukan dari mereka berkaitan dengan pelaksanaan AFTA ini. Hal
ini penting karena pemain utama dalam kegiatan ekonomi melalui skema
AFTA ini sesungguhnya adalah para pelaku ekonomi sektor swasta6.
Atas kelemahan-kelemahan itu ia menyerukan kepada negara-negara
anggota ASEAN, bahwa jika ingin AFTA tetap relevan dengan tren ekonomi
saat ini maka negara-negara tersebut perlu bergerak ke depan (tidak terjebak
pada perselisihan yang tidak substantif) dan bereaksi cepat terhadap
perubahan dunia. Hal ini berarti mereka harus mendorong maksimalisasi
efektifitas kesepakatan pengurangan hambatan tarif dan non tarif yang telah
5 Mari E. Pangestu, ASEAN Free Trade Area (AFTA): An Indonesian Perspective, hal.45
6 Ibid, hal.49
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

disepakati tersebut, dan bertindak progresif dalam menanggapi isu-isu
ekonomi terkini yang tentunya akan menarik minat sektor swasta.
Pada sisi lain R. Hendra Halwani dalam bukunya yang berjudul
Ekonomi Internasional Dan Ekonomi Global menyoroti negara-negara
ASEAN agar tidak terlalu berlebihan dalam memberikan insentif kepada
calon investor7. Dalam jangka pendek pemberian insentif tersebut memang
berguna untuk menarik masuknya investasi. Namun dalam jangka panjang,
pemberian insentif yang berlebihan itu justru akan menimbulkan persaingan
yang tidak sehat di antara negara-negara ASEAN, yang pada akhirnya justru
akan merugikan ASEAN sendiri secara keseluruhan.
Selain berbicara tentang kritik terhadap AFTA, para ahli juga menulis
tentang prediksi dampak, manfaat dan kesiapan Indonesia dalam menghadapi
AFTA, serta menyampaikan saran-saran tentang tindakan atau strategi apa
yang perlu dilakukan oleh Indonesia untuk dapat memaksimalkan
kemanfaatan yang dapat diambil dari pemberlakuan AFTA tersebut.
Rifana Erni dalam tulisannya menyatakan bahwa pemberlakuan
AFTA ini tentunya akan membawa dampak bagi pelaku ekonomi di setiap
negara anggota. Dampak itu bersifat negatif bagi produsen (pelaku ekonomi)
yang tidak (belum) efisien, yang selama ini selalu berlindung di balik proteksi
domestik namun bersifat positif bagi produsen (pelaku ekonomi) yang sudah
efisien, karena dengan pemberlakuan AFTA tersebut pasar yang terbuka
menjadi lebih lebar8. Persoalannya bagi setiap negara kemudian adalah
bagaimana menjadikan semua pelaku ekonomi di dalam negeri menjadi
efisien dan siap untuk menghadapi liberalisasi perdagangan tersebut, dan
bagaimana agar dapat memperoleh surplus dampak positif yang sebesarbesarnya
dari kesepakatan liberalisasi perdagangan yang mereka ikuti
tersebut. Dengan jumlah penduduk yang mencapai 500-600 juta jiwa,
perekonomian ASEAN memiliki potensi yang sangat besar untuk
dikembangkan lebih besar lagi, dimana masing-masing negara anggota
memiliki kesempatan untuk memperoleh bagian peningkatan kesejahteraan
dari upaya pengembangan ekonomi ASEAN tersebut.
7 R. Hendra Halwani, Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, hal. 291-221
8 Rifana Erni, Strategi Menyongsong Era Perdagangan Bebas ASEAN Tahun 2003,hal.15
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

Bagi Indonesia sendiri, selain memberikan peluang peningkatan
ekonomi AFTA ini juga merupakan sarana pembelajaran dalam menghadapi
kesepakatan liberalisasi perdagangan yang lebih besar lagi, yaitu liberalisasi
perdagangan di bawah bendera APEC dan liberalisasi perdagangan di bawah
bendera WTO, yang lawan-lawannya tentu jauh lebih unggul. Kenyataannya,
dalam AFTA ini posisi Indonesia memang tidak terlalu jelek. Meskipun
belum bisa menyamai Singapura dan Malaysia, tetapi posisi Indonesia masih
cukup sejajar dengan Thailand, Filipina dan Vietnam, serta jelas lebih baik
daripada Laos, Kamboja dan Myanmar. Dengan posisi seperti itu, peluang
Indonesia untuk bisa memanfaatkan AFTA ini sebenarnya sangat terbuka
lebar. Namun tentu saja peluang untuk memperoleh manfaat tersebut
bukanlah sesuatu yang mudah, sebab ada banyak tantangan yang harus
dihadapi Indonesia untuk bisa memperoleh manfaat tersebut.
Hikmahanto Juwana mencatat ada beberapa tantangan yang harus
diatasi Indonesia dalam menghadapi AFTA ini, yang jika berhasil akan
bermanfaat untuk kepentingan nasional9. Yaitu Indonesia harus mampu
memposisikan para pelaku usaha dari negara-negara ASEAN lainnya sejajar
dengan pelaku usaha lokal, kemudian Indonesia harus mampu berpikir dan
bertindak tidak lagi dalam konteks dan skala lokal (domestik) namun sudah
dalam konteks dan skala regional ASEAN, disamping itu Indonesia harus
mampu mendorong pelaku usaha domestik untuk lebih kompetitif, agar
mereka tidak hanya menjadi penonton tetapi juga ikut bermain dan
mendapatkan kemanfaatan dari kesepakatan AFTA ini, selanjutnya Indonesia
harus mampu menekan praktek ekonomi biaya tinggi dan tidak sehat lainnya,
seperti praktek monopoli, korupsi, pungutan liar dan sebagainya, yang selama
ini memang menghambat kemajuan ekonomi Indonesia, dan harus dapat
mentransformasikan apa yang telah disepakati dalam AFTA tersebut ke
dalam produk/ kebijakan hukum nasional. Tantangan-tantangan ini sendiri
sesungguhnya tidak hanya harus diatasi oleh pemerintah saja, namun juga
oleh pihak swasta, yang sebenarnya merupakan aktor utama dalam
pemanfaatan pemberlakuan kesepakatan AFTA ini.
9 Hikmahanto Juwana, AFTA Dalam Konteks Hukum Ekonomi Internasional, hal.10-11
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

Hal lain yang juga banyak dibahas oleh para ahli dan peneliti terkait
dengan isu AFTA ini adalah bagaimana upaya pentransformasian hal-hal
yang telah disepakati di dalam AFTA tersebut ke dalam instrumen hukum
domestik masing-masing negara anggota. Hal ini berangkat dari kenyataan
bahwa meskipun kesepakatan AFTA ini adalah kesepakatan politik dan
ekonomi, namun di dalamnya terdapat hal-hal yang bersifat teknis (misalnya
ketentuan tentang tarif, hambatan non tarif dan sebagainya), yang
memerlukan instrumen hukum, misalnya peraturan perundang-undangan,
untuk mengimplementasikannya. Oleh karena itu, setiap negara ASEAN
perlu dan wajib membuat instrumen hukum domestik yang dibutuhkan agar
dapat menjalankan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kesepakatan
AFTA tersebut secara efektif.
Berkaitan dengan upaya pentransformasian isi kesepakatan AFTA
tersebut ke dalam instrumen hukum domestik masing-masing negara anggota,
D. Gandaprawira mengingatkan tentang perlunya dilakukan harmonisasi
hukum di antara negara-negara ASEAN. Kenyataannya, masing-masing
negara ASEAN memang menggunakan sistem hukum yang berbeda-beda.
Indonesia dan Thailand menggunakan sistem kontinental, Brunei, Malaysia,
dan Singapura menggunakan sistem hukum anglosaxon, sedangkan Filipina
menggunakan sistem hukum spanih-american10. Dengan sistem yang
berbeda-beda ini rasanya upaya penyatuan hukum yang ada di kawasan ini
adalah sesuatu yang sulit. Maka upaya yang mungkin dilakukan adalah proses
harmonisasi hukum, dimana masing-masing negara ASEAN aktif melakukan
pertukaran informasi tentang aturan hukum yang dibuatnya kepada negaranegara
ASEAN lainnya, sehingga meskipun sistem hukum yang dimiliki
masing-masing negara berbeda beda namun menggunakan ‘bahasa’ yang
sama.
Taryana Soenandar menyebutkan bahwa proses harmonisasi hukum
ini menjadi penting sejalan dengan meningkatnya interaksi dan transaksi antar
pelaku ekonomi negara-negara ASEAN, dimana pelaku ekonomi bertindak
berdasarkan hukum (dan sistem hukum) yang dimiliki negaranya masing-
10 D. Gandaprawira, Some Legal Implementation of AFTA, hal. 41
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

masing, yang berbeda dengan hukum (dan sistem hukum) yang dimiliki oleh
negara pelaku ekonomi lainnya11. Tanpa adanya upaya harmonisasi hukum,
maka akan sangat mungkin terjadi kesalahpahaman dan perselisihan di antara
pelaku ekonomi tersebut, yang pada akhirnya akan menghambat aktifitas
ekonomi yang berlangsung di antara negara-negara ASEAN tersebut.
Soenandar juga mencatat ada beberapa ketentuan hukum yang perlu segera
diharmonisasikan guna memperlancar pengimplementasian kesepakatan
AFTA tersebut. Hukum-hukum tersebut adalah hukum investasi, hukum
perlindungan konsumen, hukum tanggung jawab produk, hukum
perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, hukum kontrak, hukum
jual-beli internasional, hukum lingkungan, serta hukum acara12.
Jayant Menon lebih jauh mengatakan bahwa proses harmonisasi
yang diperlukan tersebut bukan hanya dalam hal ketentuan hukum, tapi juga
dalam hal standar yang digunakan, tes dan sertifikasi yang diwajibkan atas
produk, prosedur kepabean, kebijakan investasi asing, konsultasi makro
ekonomi, serta aturan dalam hal kompetisi yang adil13. Tanpa itu semua,
upaya untuk meningkatkan volume perdagangan antar negara-negara ASEAN
melalui penghapusan hambatan tarif dan non tarif akan menjadi sia-sia, sebab
para pelaku ekonomi masih tetap akan bingung dalam menghadapi sistem
yang berbeda-beda yang diberlakukan oleh masing-masing negara ASEAN.
Pada akhirnya, Jamil Maidan Flores dalam bukunya yang berjudul
ASEAN Economic Cooperation: Helping The Breadwinners of Southeast
Asia menyebutkan bahwa kerjasama ekonomi yang dicanangkan ASEAN
sesungguhnya mencakup bidang-bidang yang lebih luas lagi, seperti bidang
jasa, pengembangan industri, keuangan dan perbankan, investasi, pertanian
dan kehutanan, energi dan sumberdaya mineral, serta transportasi dan
komunikasi14. Maka keberhasilan kerjasama dalam bidang-bidang
perdagangan ini, khususnya kesepakatan AFTA ini, sesungguhnya akan
11 Taryana Soenandar, Harmonisasi Hukum di Lingkungan Negara-negara ASEAN Dalam Rangka
Mendukung Berlakunya Kawasan Perdagangan Bebas,
12 Ibid
13 Jayant Menon, The Evolving ASEAN Free Trade Area: Widening And Deepening,
14 Jamil Maidan Flores, ASEAN Economic Cooperation: Helping The Breadwinners of Southeast
Asia, hal.39-60
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

menjadi indikator bagi kemungkinan keberhasilan kerjasama dalam bidangbidang
lainnya tersebut. Bila ini berhasil maka yang lain pun diperkirakan
akan berhasil, dan sebaliknya bila ini gagal maka yang lain pun diperkirakan
akan gagal pula.
Berangkat dari telaah terhadap tulisan-tulisan tentang AFTA di atas,
maka penulis kemudian menentukan arah yang ingin dituju dalam penelitian
ini. Berbeda dengan tulisan-tulisan tersebut, yang umumnya berbicara tentang
critical assesment terhadap AFTA, prediksi mengenai dampak pemberlakuan
AFTA terhadap Indonesia, serta saran tentang bagaimana sebaiknya proses
pengimplementasian AFTA tersebut dilakukan, penelitian ini ingin melihat
tentang apa dan bagaimana kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil
Indonesia dalam menghadapi pemberlakuan AFTA tersebut. Dari situ kita
akan bisa melihat apakah kebijakan dan strategi perdagangan yang diambil
tersebut telah cukup dan siap untuk menghadapi pemberlakuan AFTA ini.

1.4. Kerangka Teori
1.4.1. Liberalisasi Perdagangan di Tingkat Regional
Banyak permasalahan yang muncul sebagai akibat dari
pemberlakuan kesepakatan liberalisasi perdagangan ini, khususnya
yang dihadapi oleh negara-negara berkembang. Masalah-masalah
tersebut kenyataannya sering kali justru bertolak belakang dengan apa
yang dicita-citakan dari pemberlakuan liberalisasi perdagangan ini,
yaitu ingin meningkatkan kemakmuran dunia secara keseluruhan.
Kenyataannya, hal ini menurut Gilpin tidak terlepas dari regionalisme
politik di abad 21 yang akan diikuti oleh regionalisme arus investasi
(FDI), produksi dan kegiatan ekonomi yang lain.
Berkaitan dengan kuatnya hegemoni negara-negara maju atas
negara-negara berkembang dalam rezim perdagangan bebas yang ada.
Meskipun ide awal lahirnya upaya liberalisasi perdagangan adalah
untuk menciptakan suatu rezim perdagangan yang adil, namun
kenyataan yang ada justru sebaliknya. Dengan kekuatan yang
dimilikinya, negara-negara maju sering kali bersikap mau menang
sendiri, misalnya dengan memaksa negara-negara berkembang untuk
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

mau menerima isi kesepakatan-kesepakatan liberalisasi perdagangan
yang hanya menguntungkan negara-negara maju saja. Hal ini dapat
dilihat dari desakan negara-negara maju agar diberlakukannya
liberalisasi perdagangan untuk produk-produk manufaktur. Selain itu
negara-negara maju juga sering kali menetapkan berbagai persyaratan
teknis yang harus dipenuhi oleh suatu negara dalam aktifitas
perdagangan internasional.

1.4.2 AFTA Dan Kebijakan Indonesia
Kesepakatan liberalisasi perdagangan ASEAN (AFTA),
sesungguhnya lahir dari kegundahan para pemimpin negara-negara
ASEAN terhadap kondisi perdagangan intra-ASEAN yang selama ini
menunjukkan hasil yang kurang baik. Meskipun kerjasama ASEAN
(mulai dari deklarasi Bangkok sampai dengan penandatangan
kesepakatan pembentukan AFTA) telah berlangsung 25 tahun,
nyatanya nilai perdagangan intra-ASEAN masih belum menunjukkan
nilai yang signifikan, dengan pertumbuhan yang mengalami stagnasi.
Secara luas, pembentukan AFTA bertujuan untuk
meningkatkan daya saing ekonomi negara-negara ASEAN dengan
menjadikannya sebagai basis produksi pasar dunia. Selain itu
pembentukan AFTA ini juga bertujuan untuk mengembangkan
perdagangan intra-ASEAN serta meningkatkan skala ekonomi dan
spesialisasi industri-industri yang ada di negara-negara ASEAN.
Karenanya sasaran yang diharapkan dari pembentukan AFTA ini
bukan hanya pengembangan dalam bidang perdagangan, namun juga
pengembangan dalam bidang investasi. Dengan keberadaan AFTA ini,
investor diharapkan menjadi semakin tertarik untuk menanamkan
modalnya di kawasan ASEAN. Sebab ketika mereka menanamkan
modalnya dan berproduksi di salah satu negara ASEAN, mereka akan
dapat juga melayani keseluruhan kawasan ASEAN dengan
memanfaatkan ketentuan AFTA tersebut, dimana barang-barang
produksi ASEAN akan memperoleh keistimewaan dalam hal
pengenaan tarif dan hambatan non tarif. Untuk itu maka AFTA ini
dikembangkan agar dapat menjadi kesepakatan regional yang terbuka
(open regionalism), yang di satu sisi berupaya untuk
mengintegrasikan ekonomi kawasan, namun di sisi lain juga
menyambut baik hubungan ekonomi dengan negara-negara dari luar
kawasan. Meski dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian
ASEAN, khususnya untuk meningkatkan nilai perdagangan intra-
ASEAN, kenyataannya tidak semua pihak satu suara mengenai
keberadaan AFTA ini. Di Indonesia sendiri perbedaan pandangan
tersebut juga kerap terjadi antara kelompok yang mendukung dengan
kelompok yang menentang keberadaan AFTA ini. Bahkan kelompok
pengusaha yang tadinya diharapkan akan dapat memperoleh manfaat
besar dari kesepakatan AFTA ini, nyatanya tidak semua merasa
senang dengan keberadaan AFTA ini.
Namun demikian, satu hal yang harus disadari adalah bahwa
pemberlakuan AFTA mulai tahun 2002 dan keikut sertaan Indonesia
di dalamnya kini adalah satu kenyataan yang tak dapat ditolak.
Sebagai konsekuensinya, seluruh pelaku ekonomi di Indonesia
(khususnya pemerintah) diharuskan untuk menciptakan aturan-aturan
perdagangan yang sejalan dengan isi kesepakatan AFTA tersebut. Di
sisi lain, pemberlakuan AFTA ini tentunya akan membawa dampak
bagi pelaku ekonomi nasional. Dampak tersebut akan bersifat negatif
bagi pelaku ekonomi yang tidak efisien sehingga tidak mampu
bersaing, namun akan bersifat positif bagi pelaku ekonomi yang sudah
efisien sehingga mampu bersaing. Maka pemikiran yang seharusnya
dikembangkan bukan lagi berbicara tentang masalah penerimaan
ataupun penolakan terhadap AFTA, melainkan bagaimana AFTA
tersebut dapat disikapi dengan bijak. Dengan itu Indonesia kemudian
diharapkan mampu mengambil kebijakan-kebijakan perdagangan
yang tepat agar dapat memanfaatkan keberadaan AFTA ini sebaik
mungkin bagi kepentingan nasional. Dalam konteks kebijakan secara luas, Sjamsumar Dam dan Riswandi menyebutkan paling tidak ada 5 hal pokok yang harus
dilakukan Indonesia dalam menghadapi AFTA ini, agar di satu sisi
dapat mendorong peningkatan kegiatan perdagangan intra- ASEAN
sebagaimana yang dicita-citakan dari pembentukan AFTA ini, namun
di sisi lain juga dapat mengoptimalkan pemanfaatan AFTA bagi
pengembangan ekonomi nasional19. Lima hal pokok tersebut adalah:

1. Memantapkan organisasi pelaksana AFTA yang ada pada level
nasional.
2. Meningkatkan promosi dan penetrasi pasar ke negara-negara
ASEAN lainnya.
3. Meningkatkan efisiensi dan produktifitas pelaku ekonomi dalam
negeri.
4. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia nasional.
5. Dan melakukan upaya untuk melindungi industri kecil nasional.

Pada level yang lebih implementatif dalam hal kebijakan
perdagangan, Gandaprawira menyebutkan bahwa pemerintah harus
melakukan upaya deregulasi kebijakan di bidang perdagangan20.
Deregulasi tersebut misalnya dengan menyederhanakan hambatan non
tarif yang ada, memasukkan beberapa ketentuan kuota yang kompleks
ke dalam sistem tarif yang sederhana, serta mengurangi berbagai
hambatan perizinan di bidang investasi. Ini penting mengingat selama
ini kebijakan perdagangan Indonesia terkenal sarat dengan hambatan
birokratis dan berbelit-belit, sehingga mempersulit kegiatan
perdagangan itu sendiri. Selain itu, deregulasi kebijakan perdagangan
yang diambil tersebut hendaknya tidak hanya dalam bidang impor
(yang memang merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap
negara anggota AFTA), tapi juga dalam bidang ekspor. Hal ini untuk
mempermudah para pelaku ekonomi nasional guna memperluas
kegiatan ekonominya melalui pengembangan kegiatan ekspor. Karena
sesungguhnya kesempatan untuk mengembangkan kegiatan ekspor
inilah yang diharapkan oleh setiap negara ketika ia memutuskan untuk
mengikuti sebuah kesepakatan liberalisasi perdagangan.
Upaya deregulasi kebijakan dan birokrasi, serta pengambilan
strategi perdagangan yang tepat ini terutama diharapkan dapat
dimotori oleh Departemen Perdagangan (khususnya melalui
Direktorat Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional, Direktorat
Perdagangan Luar Negeri, dan Badan pengembangan ekspor
Nasional) selaku regulator utama kegiatan perdagangan luar negeri di
Indonesia, dan oleh Departemen Keuangan (melalui Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai) selaku ujung tombak dalam proses
pengawasan terhadap kegiatan ekspor dan impor di lapangan.
Tentu saja bagaimana pun pada akhirnya akan tetap ada
pelaku-pelaku ekonomi nasional yang mengalami kerugian dari
pemberlakuan AFTA ini dan keikutsertaan Indonesia di dalamnya,
sebagaimana pula akan ada pelaku-pelaku ekonomi nasional yang
mengalami kerugian bila AFTA ini tidak diberlakukan atau Indonesia
tidak ikut di dalamnya. Maka persoalannya sekarang adalah
bagaimana menjadikan kemanfaatan yang diperoleh Indonesia dari
pemberlakuan AFTA ini dapat jauh lebih besar dari ongkos yang
harus dikeluarkan, serta bagaimana agar kerugian yang harus dialami
oleh pelaku-pelaku ekonomi nasional yang mendapat kerugian
tersebut dapat menjadi seminimal mungkin.

1.5. Asumsi
Berangkat dari uraian-uraian yang ada pada bagian sebelumnya, maka
asumsi yang dikemukakan dalam tesis ini adalah pemerintah Indonesia
memegang teguh komitmen yang telah diambil dalam pelaksanaan
kesepakatan AFTA.

1.6. Metodologi Penelitian
Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan
cara studi pustaka (library research), dimana peneliti mengumpulkan datadata
yang diperlukan dari sumber-sumber seperti buku-buku, jurnal, dokumen
resmi, koran, majalah, dan literatur-literatur lainnya, serta “browsing” ke
dalam website yang relevan dengan topik penelitian ini. Data-data tersebut
khususnya yang berkaitan dengan sejarah perkembangan kerjasama ekonomi
(khususnya perdagangan) di kawasan ASEAN, data mengenai
mekanisme/aturan main pelaksanaan kesepakatan AFTA, serta data mengenai
kebijakan perdagangan (khususnya perdagangan luar negeri) dan strategi
pengembangan ekspor yang diambil oleh Indonesia dalam menghadapi
pemberlakuan kesepakatan AFTA tersebut. Selain itu, untuk melengkapi dan
mengembangkan data-data yang telah diperoleh melalui studi pustaka
tersebut, maka akan dilakukan pula wawancara terhadap pihak-pihak yang
dinilai memiliki informasi dan pengetahuan yang relevan dengan topik
penelitian ini.

1.7. Tujuan Penelitian
Dari uraian sebelumnya tentang latar belakang masalah yang ingin
diteliti dalam penelitian ini, maka kita dapat melihat bahwa paling tidak ada 3
alasan yang menjadikan penelitian ini memiliki arti penting, yaitu:
1. Berangkat dari kondisi dunia yang ada saat ini, maka upaya liberalisasi
ekonomi, khususnya di bidang perdagangan, adalah sesuatu yang tidak
dapat dihindari oleh setiap negara yang ingin terlibat dalam aktifitas
perekonomian internasional. Liberalisasi itu sendiri bisa dalam bentuk
kesepakatan bilateral, multilateral, maupun regional (seperti yang
terwujud dalam AFTA ini).
2. Secara ideal, sejak awal dimulainya AFTA sampai sekarang dan untuk
waktu yang akan datang pembahasan mengenai AFTA bukan lagi hanya
sebuah wacana, melainkan sudah merupakan ketentuan nyata yang harus
dipatuhi oleh setiap anggotanya.
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.
3. Berlakunya AFTA ini membawa konsekuensi kepada Indonesia (sebagai
salah satu anggotanya) untuk mengambil kebijakan dan strategi
perdagangan yang tepat, yang mempunyai tujuan untuk :
(a) Menyesuaikan diri dengan apa-apa yang telah diwajibkan dalam
kesepakatan AFTA tersebut, dan
(b) Mengambil kesempatan dari pemberlakuan AFTA tersebut untuk
memperoleh kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
nasional. Kebijakan dan strategi inilah yang nantinya akan
mengarahkan kegiatan perdagangan Indonesia, khususnya di
kawasan ASEAN.
Seperti yang telah diuraikan, maka penelitian ini diharapkan dapat
memberikan gambaran yang lebih luas mengenai kebijakan perdagangan luar
negeri Indonesia dan AFTA serta dapat memberikan berbagai macam
pandangan bagi pihak-pihak terkait yang ingin memanfaatkan penelitian ini
sebagai sebuah wacana tambahan diantara wacana-wacana lain yang telah
berkembang untuk mempertimbangkan kebijakan dan strategi Indonesia
dalam menghadapi AFTA ataupun sebagai titik tolak untuk penelitian lebih
lanjut mengenai hal yang berkaitan dengan tujuan untuk menyempurnakan
penelitian-penelitian yang sudah ada, mengingat bahwa tulisan-tulisan
mengenai Indonesia dan AFTA sudah sangat banyak sekali jumlahnya.

1.8. Sistematika Penulisan
Bab I adalah bagian pendahuluan. Bab ini menjelaskan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, literatur survei, kerangka teori,
hipotesis, metodologi penelitian, tujuan penelitian serta pembabakan.
Bab II akan berisi penjelasan tentang isi/ ketentuan yang terdapat
dalam kesepakatan AFTA, khususnya yang terkait dengan pelaksanaan
skema CEPT sebagai mekanisme utama bagi upaya penghapusan hambatan
tarif, ketentuan tentang upaya penghapusan hambatan non tarif, dan
ketentuan tentang kandungan ASEAN (ASEAN content). Selain itu juga
akan ditinjau bagaimana kebijakan umum yang diambil Indonesia dalam
mengimplementasikan ketentuan-ketentuan tersebut.
Bab III akan menjelaskan tentang gambaran kondisi perdagangan luar
negeri ASEAN, perdagangan intra-ASEAN, perdagangan luar negeri
Indonesia, dan perdagangan Indonesia dengan kawasan ASEAN. Dari
penjelasan tersebut kita akan dapat apa alasan yang mendasari pendirian
AFTA ini, bagaimana perkembangan perdagangan intra-ASEAN setelah
diberlakukannya AFTA, dan bagaimana perkembangan perdagangan
Indonesia ke kawasan ASEAN setelah diberlakukan AFTA.
Bab IV akan menjelaskan tentang langkah-langkah fasilitatif dan
proaktif yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mengembangkan
kegiatan perdagangan Indonesia dengan kawasan ASEAN, khususnya dalam
rangka mengembangkan ekspor nasional.
Bab V berisi kesimpulan dan saran, yaitu rangkuman atas
pembahasan pada bab-bab sebelumnya, sekaligus sebagai penegasan
jawaban atas permasalahan penelitian yang diajukan.
Strategi kebijakan..., Haka Avesina Asykur, FISIP UI, 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar